Senin, 13 Juni 2011

TRADISI WALIMATUL URS ISLAM ABANGAN

PELAKSANAAN WALIMATUL URS
PADA MASYARAKAT ISLAM ABANGAN












Oleh : Drs. S UTAJI









LUMAJANG, 01 JUNI 2011


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah Swt. Semoga rahmat taufiq dan hidayah-Nya senantiasa tetap tercurahkan kepada kita, amien. Bahagia rasanya kami pada hari ini, karena telah dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Pelaksanaan Walimatul Urs Pada Masyarakat Islam Abangan.
Sengaja kami menulis makalah dengan mengambil judul sebagaimana tersebut diatas, karena pada setiap upacara perkawinan yang kami hadiri sebagian besar masih ada golongan masyarakat muslim yang mengedapankan tatacara atau tradisi-tradisi Kejawen atau menurut Koenjara ningrat dikatakan sebagai Islam Abangan.
Tulisan ini berusaha untuk memberikan gambaran yang nyata tentang pelaksanaan Walimatul Urs yang ada pada masyarakat Islam abangan.
Tentu tulisan ini jauh dari kesempurnaan karena mengingat keterbatasan waktu, biaya dan tenaga. Namun demikian harapan kami, paling tidak makalah ini dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca sekalian dan juga dapat digunakan sebagai landasan dalam penelitian yang lebih mendalam berikutnya.

Lumajang, Juni 20II





Drs. S U T A J I






BAB I
P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan Walimatul Urs atau Walimah dalam acara pernikahan hukumnya adalah “Sunnah Muakadah “ 1), yakni Sunnah yang dianjurkan. Bahkan menurut Imam Malik dalam bukunya al-UM, dan menurut pengikut az’Zhahiri berpendapat bahwa hokum penyelenggaraan Walimatul Urs adalah Wajib” 2).
Acara walimatul Urs tersebut diadakan ketika akad nikah atau sesudahnya” 3). Yang diawali dengan mengundang tetangga, karib kerabat atau sanak keluarga dengan memberi jamuan makan atau kenduri dengan tujuan “Untuk menyebarkan berita tentang telah terjadinya suatu pernikahan agar diketahui umum, sehingga dapat terhindar dari fitnah” 4).
Adapun hukum menghadiri undangan Walimah adalah wajib bagi yang di undang, karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan dan menggembirakan 5).
Namun menurut Madzab Syafi’I “6). Jika seseorang di undang pada acara Walimatul Urs yang mengandung nilai-nilai kemungkaran, maka dia wajib menghadirinya, jika ia merasa mampu untuk melenyapkan kemungkaran itu.
Hal itu disebabkan karena adanya kewajiban memenuhi undangan dan melenyapkan kemungkaran. Akan tetapi jika tidak mampu menlenyapkan, maka dia tidak wajib menghadirinya.
Adapun bentuk kemungkaran dalam pelaksanaan Walimatul Urs itu beraneka macam, termasuk didalamnya adalah pembakaran Dupa dan Kemenyan yang sering dilakukan oleh para penganut Kejawen atau sering disebut sebagai penganut Islam Abangan. Dan istilah yang lebih popular dikalangan mereka adalah acara Slametan Manten.
Bagi penganut Islam Abangan slametan tidak akan lengkap dan kurang sempurna kalau tidak diiringi dengan kepulan asap dupa dan kemenyan. Sebab asap dupa dan kemenyan menurut keyakinan mereka akan dapat menentramkan batin dan lebih dapat menambah kekhususkan dalam menyampaikan do’a-do’a kepada Sang Pencipta dan arwah leluhur. Supaya roh-roh jahat tidak mengganggu manten berdua, sehingga manten berdua dan seisi rumah mendapatkan keslamatan.
Ritual semacam ini tentu bukan tat cara pelaksanaan Walimatul Urs sebagaimana yang diajarkan oleh Agama Islam. Karena menurut ajaran Islam hal-hal semacam itu jelas bertentangan dengan hokum Islam dan termasuk perbuatan syirik. Karena dia memuja -muja arwah leluhur yang sudah meninggal dunia dan memohon keselamatan padanya disamping itu ia juga memohon kepada Setan dengan membakar Dupa dan Kemenyan,agar setan – setan tersebut tidak mengganggunya. Berarti dia telah mengakui ada kekuatan lain selain Allah. Sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Muhammad Abduh “ 7), bahwa percaya ada susuatu yang mempunyai kekuasaan mutlak selain Allah adalah perbuatan Syirik. Dan memohon keselamatan kepada selain Allah juga termasuk Syirik.
Dan kondisi seperti inilah yang sering kita temui pada sebagian besar masyarakat muslim disekitar kita. Tulisan ini berusaha untuk memaparkan tentang bagaimana pelaksanaan Walamtul Urs dikalangan mereka. Dengan mengetahui kondisi yang sebenarnya diharapkan para pembaca sekalian dapat memutuskan untuk hadir atau tidak jika mendapatkan undangan Walimatul Urs atau Slametan Manten dikalangan mereka. Atau jika hadir paling tidak dapat memberikan masukan agar mereka tidak terjerumus kedalam jurang kemusrikan.

B. BATASAN MASALAH
Membahas tentang “ Pelaksanaan Walimatul Urs Pada Masyarakat Islam Abangan”. tentunya hal yang sangat luas dan memerlukan kajian yang sangat mendalam.
Namun karena berbagai keterbatasan , maka kami tidak menguraikan secara panjang lebar. Dan membatasai tulisan ini pada pokok persoalan :

1. Sekitar persoalan Walimatul Urs
2. Islam Abangan di Indonesia
3. Pelaksanaan Walimatul Urs pada Masyarakat Islam Abangan


C. Sistematika Pembahasan
Adapun sistematika Pembahasan yang kami gunakan antara lain sebagi berikut :
B A B : I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Batasan Masalah
C. Sistematika Pembahasan
B A B : II PERSOALAN SEKITAR WALIMATUL URS
A. Pengertian Walimatul Urs
B. Pelaksanaan Walimatul Urs
C. Hukum Menghadiri Walimatul Urs
B A B : III ISLAM ABANGAN DI INDONESIA
A. Pengertian
B. Sebab-sebab terjadinya Islam Abangan
C. Eksistensi Golongan Islam Abangan saat ini
B A B : IV WALIMATUL URS PADA MASYARAKAT ISLAM
ABANGAN
A. Ciri-Ciri Kegiatan Keagamaan Golongan Islam Abangan
B. Persepsi Islam Abangan terhadap pelaksanaan Walimatul Urs
C. Islam Abangan dalam persiapan pelaksanaan dan Tata Cara Walimatul Urs.
BAB : V PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Penutup
DAFTAR KEPUSTAKAAN


BAB II
PERSOALAN SEKITAR WALIMATUL URS


A. Pengertian Walimatul Urs
Walimatul Urs, berasal dari kata “ Walimah yang artinya berkumpul dan al- Urs artinya perkawinan” 1). Sedangkan menurut Sayyid Sabiq “ 2). Walimah itu arti harfiyahnya ialah berkumpul. Karena pada waktu itu berkumpul suami istri.. Dan dalam kamus hokum walimah juga ada makanan, pesta pengantin atau setiap untuk undangan dan lain sebagianya.
Tujuan diadakannya walimah adalah untuk menyebarkan berita tentang telah terjadinya suatu pernikahan pada masyarakat luas untuk diketahu oleh umum agar tidak terjadi fitnah.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa hokum walimatul Urs, adalah sunnah. Pendapat ini dikenal dalam Mazhab Maliki, Hambali dan sebagian golongan Mazhab Syafi’i. Menurut mereka “Walimatul Urs, adalah juamuan makan yang diselenggarakan dalam rangka menyambut suatu peristiwa yang menggembirakan”3).
Bahkan Imam Malik dalam karya Imam Syafi’I , Al-Um, dan pengikut Mazhab Az-Zahiri, berpendapat bahwa hokum penyelenggaraan Walimatul Urs adalah wajib.
Pendapat ini didasarkan atas sabda Rosulullah SAW, kepada Abdurrahman bin Auf :
قال رسول الله لعبد الرحمن بن عوف اولم ولوبشاة
Artinya : Rosulullah Saw. Bersabda kepada Abdurrahman bin Auf : “ Adakan walimah, sekalipun dengan seekor kambing…”4)

Orang yang menentukan bahwa hokum walimatul urs adalah sunnah disebabkan karena ia bersandar pada pendapat Imam Syafi’i : “Saya tidak mengetahui ada orang yang diperintahkan untuk menyelenggarakan walimah selain Abdurrahman bin Auf. Saya pun tidak mengetahui Nabi SAW meninggalkannya” 5).

B. Pelaksanaan Walimatul Urs
Para ulama berselisih pendapat mengenai waktu penyelenggaraan Walimatu Urs, apakah pada waktu akad nikah atau sesudah akad nikah atau ketika dukhul (bersetubuh). Di kalangan para pengikut mazhab Maliki terdapat perbedaan pendapat pendapat, “sebagian berpendapat disunnahkan penyelenggaraan Walimatul Urs sesudah dukhul, sedangkan sebagian lainnya beranggapan disunnahkan penyelenggaraannya ketika akad nikah “ 6).
Menurut Ibnu Jundub, Penyelenggraan Walimatul Urs adalah pada waktu akad dan sesudah dukhul. Imam al-Mawardi (w.405 H/1058 M; ahli fikih dari Mazhab Syafi’I, berpendapat bahwa disunnahkan penyelenggaraan Walimatul Urs ketika dukhul. Adapun menurut as-Subki, perbuatan Nabi SAW menunjukkan penyelenggaraannya sesudah dukhul. Hal ini didasarkan antara lain hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik dalam kitab Bukhari, yang menyatakan bahwa Walimatul Urs itu diselenggarakan sesudah dukhul. Ketika itu Nabi SAW menikahi Zaenab binti Jahsy dan kemudian mengundang orang-orang. Hadits ini dijadikan sandaran oleh pengikut Mazhab Maliki . Sedangkan pengikut Mazhab Hambali mengatakan bahwa Walimatul Urs, itu disunnahkan bersamaan dengan akad nikah dan sesuai dengan adat dilakukan tidak lama sebelum dukhul.
Dan menurut Sayid Sabiq “7), pelaksanaan Walimatul Urs dapat diadakan ketika akad nikah atau sesudahnya, atau ketika hari perkawinan (mencampuri isterinya) atau sesudahnya. Hal ini leluasa tergantung kepada adat dan kebiasaan. Dalam riwayat Bukhari disebutkan bahwa Rasulullah mengundang orang-orang untuk walimahan sesudah beliau bercampur dengan Zainab.
Waliyatul Urs sering disertai dengan musik dan nyanyian. Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat. Dikalangan Ulama Al-Ghazali berpendapat bahwa hukum mendengarkan nyanyian dan alat-alat musik (seperti beduk dan rebana), menurut nas dan kias, adalah Mubah, kecuali alat-alat yang menurut syariat memang dilarang. Mengenai tari-tarian , sebagian ulama menentukan hukumnya adalah makhruh, dan sebagian yang lainnya menentukan mubah.

C. Hukum Menghadiri Walimatul Urs

Para Ulama juga memperdebatkan hokum memenuhi undangan Walimatul Urs. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hokum mengahdiri undangan walimatul Urs adalah Sunnah. Sedangkan Jumhur Ulama yang terdiri dari Mazhab Maliki,Syafi’I dan Hambali,menentukan hukumnya wajib ain (Kewajiban Pribadi), jika orang yang diundang tidak mempunyai halangan. Di antara halangan yang menggugurkan kewajiban itu adalah penuh sesaknya orang, tertutupnya pintu baginya, dan halangan lain yang membolehkan seseorang tidak mengikuti salat Jum’at ( seperti hujan lebat, jalan becek dan sakit). Bagi orang yang sedang menjalani puasa, memenuhi undangan Walimatul Urs tetap wajib, tetapi hendaknya dia meneruskan puasanya.
Menurut mazhab Syafi’I “2), jika seorang diundang ke suatu acara walimatul urs yang mengandung kemungkaran, maka dia wajib mengahadirinya jika mampu melenyapkan kemungkaran tersebut. Akan tetapi jika tidak mampu melenyapkan, maka dia tidak wajib hadir dalam acara Walimatul Urs tersebut. Adapun menurut Mazhab Hambali memenuhi undangan Walimatul Urs yang diketahui akan menghidangkan makanan yang haram adalah makruh.
Sedangkan Sayyid Sabiq “ 3), hukum menghadiri undangan Walimatul Urs adalah wajib bagi yang diundang karena untuk menunjukkan perhatian, memeriahkan dan menggembirakan. Hal ini didasarkan pada Sabda Rosulullah :
عن ابن عمران رسول الله صلى الله عليه وسلم قال- ادادعى احدكم الى وليمة فليأتها
1. Artinya : Dari ibnu umar, bahwa Rasulullah saw telah bersabda : ‘ Jika salah seorang diantaramu diundang ke walimahan; hendaklah ia datangi.” 4)

وعن ابى هريرة-ان رسول الله صل الله عليه وسلم قال ومن ترك الدعوة فقد عصى الله ورسوله

2. Artinya : Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. Telah bersabda : “Barangsiapa meninggalkan undangan,sesungguhnya ia telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya…”5)
Namun lanjut Sayyid Sabiq “ 6), Jika undangan bersifat umum, tidak tertuju kepada orang-orang tertentu maka tidak wajib mendatangi dan tidak pula sunnah. Contohnya, seorang pengundang mengatakan : “Wahai orang banyak, datanglah ke walimahan saya,”. tanpa disebutkan orang-orang secara tertentu.
Memakan makanan dalam walimatul Urs adalah Mustahabb ( disukai ), “bahkan bagi orang yang sedang menjalani saum sunah, karena hal itu akan mendatangkan kegembiraan bagi orang yang mengundang”7). Jika orang yang diundang itu banyak, maka jika mungkin seluruhnya memenuhi undangan itu; dan jika tidak mungkin cukup wakilnya saja.
Hukum mengundang orang kaya tanpa mengundang fakir miskin untuk menghadiri Walimatul Urs adalah makruh. Hal ini didasarkan pada hadits Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari :
وروىالنجاري ان ابا هريرة قال : شرالطعام طعام الوليمة : يدعى لها الا غنياءويترك الفقراع
Artinya ; Dari Abu hurairah, bahwa ia berkata : sejelek-jelek makanan ialah makanan Walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya akan tetapi meninggalkan orang-orang miskin ( HR. Bukhari ) “ 8).
Dengan demikian jelas bahwa dalam memberikan undangan Walimatul Urs, kita tidak boleh memilih-milih hanya pada orang-orang yang kaya saja sedangkan yang miskin kita tinggalkan.



B A B III
ISLAM ABANGAN DI INDONESIA

A. Pengertian

Istilah Abangan pertama kali diperkenankan oleh Clifford Geert” 1). Seorang ahli Antropologi dari Amirika Serikat. Dalam konsepnya ia melihat Abangan sebagai padanan bukan antitesa bagi golongan bukan santri. Disamping itu Geertz menggolongkan abangan untuk mewakili petani desa, santri mewakili pedagang dan priyayi mewakili Birokrat.
Akan tetapi sebenarnya “ Santri dan Abangan terdapat pada setiap lapisan masyarakat jawa mulai dari wong cilik (Rakyat jelata) sampai ndoro ( bangsawan). Demikian juga priyayi ada yang Abangan dan ada yang Santri”2).
Dibeberapa daerah di Indonesia , khususnya di Jawa ditemukan dua hal yang secara umum dapat menggambarkan masyarakat Islam “ Yaitu mereka yang disebut Kelompok Santri dan Kelompokm Abangan”3).
Kelompok santri adalah mereka yang dengan taat menjalankan ajaran Islam. Karenanya kelompok ini juga sering disebut sebagai muslim Ortodoks.
Sedangkan kelompok “Abangan adalah mereka yang lebih terpengaruh oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa Pra Islam dari pada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri” 4).
Abangan adalah istilah yang digunakan terhadap pemeluk Islamdi Jawa, “ yakni mereka yang tidak begitu memperhatikan perintah. Perintah agama Islam dan kurang teliti dalam memenuhi kewajiban –kewajiban agamanya”5). Mereka mengaku muslim akan tetapi cara hidup yang mereka kerjakan banyak yang terpengaruh oleh ajaran-ajaran hindu, budha dan unsure-unsur asli jawa sehingga amalan mereka banyak yang bercorak sinkretis.
Secara harfiah Abangan berarti yang merah yang diturunkan dari kata dasar Abang (merah). Di samping itu ada juga dugaan bahwa istilah abangan muncul sebagai bentuk pengucapan orang jawa untuk bahasa arab aba’an ( ingkar tidak taat)”6).
Istilah ini menagcu pada golongan yang berpandangan bahwa kepercayaan dan daya hidupnya berlainan dengan muslim yang sholeh, atau dalam istilah lain dinyatakan bahwa “Abangan adalah golongan masyarakat yang menganut agama Islam tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan “ 7).
Masyarakat abangan sangat menghormati arwah lelluhur mereka atau nenek moyang mereka, sehingga banyak tempat-tempat yang diangap kramat atau dikramatkan,
wali dan makam sesepuh –sesepuh mereka sehingga merekapun sering dating ke tempat-tempat kramat tersebut untuk mendapatkan berkah.
Disamping itu ada sebuah benda yang dianggap kramat dan dihormati oelh orang-orang abangan yaitu keris. Dalam kisah-kisah jawa “keris selalu dipandang sebagai senjata yang kramat, mempunyai keampuhan dan menduduki tempat terkemuka diantara tanda-tanda kebesaran raja, maupun diantara pusaka yang turun temurun”8).
Disamping keris golongan Abangan juga percaya pada kemampuan dukun, yaitu “seorang yang mampu mengendalikan roh-roh yang menjadikannya alat bagi keinginan dan hasrat seseorang”9). Sehingga dukun mempunyai pengaruh yang kuat dalam kehidupan orang-orang abangan. Dalam setiap acara-acara slametan atau ritus-ritus keagamaan orang-orang Abangan selalu minta bimbingan dan petunjuk pada sang dukun.
Bimbingan dan petunjuk dukun bagi orang-orang Abangan bersifat mutlak dan melingkupi seluruh aktifitas dalam hidupnya. Hal ini dapat kita perhatikan mulai mereka mau membangun rumah, mau menanam pada atau tanaman lainnya serta hajat-hajat lainnya seperti menghitankan putranya, mengawinkan putra-putrinya dan lain sebagainya.
Salah satu pantangan yang sangat dipegang oleh orang Abangan, bahwa mereka apabila hendak pergi atau punya hajat lainnya, mereka selalu menghindari hari dimana
orang tua atau leluhur mereka dulu meninggal dunia, yang mereka sebut sebagai “ Hari Geblake Mbahe” atau hari Gemblake Bapak serta Ibunya. Menurut keyakinan mereka kalau pada hari itu ( Hari Geblak) tersebut dia pergi, maka dia akan celaka, kalau dia menanam pasti tidak berbuah atau akan mengalami kegagalan ( gagal panen ) dan lain sebagainya pokoknya hari tersebut mereka yakini sebagai hari “Naas”, bagi mereka.
Dengan demikian kepercayaan agama para abangan merupakan hasil dari satu sintesis berabad-abad dari kepercayaan Animesme, Dinamisme, Hindu, Budha dan Islam.Sebagaimana diungkapkan oleh Koentjaraningrat “10), bahwa agama Islam di jawa
dibagi menjadi dua yaitu Agama Islam Jawa ( Kejawen) yang sinkretis yang menyatukan unsure-unsur pra-hindu, hindu dan Islam. Dan agama Islam yang puritan (santri) yang mengikuti ajaran agama secara lebih taat. Bentuk agama Islam orang Jawa, baik para pengikut Kebatinan (Kejawen) ataupun yang sering digolongkan sebagai Abangan merupakan sinkretis antara unsure-unsur pribumi, hindu, budha dan Islam.
Walaupun mereka banyak yang belum mengerjakan sholat lima waktu dan sholat jum’at, namun mereka banyak yang taat berpuasa bulan Romadhon. Meraka sangat yakin adanya Allah. Dan seperti halnya orang-orang Islam pada umumnya mereka percaya bahwa Muhammad adalah Nabinya.
Mereka menyadari bahwa orang yang baik hidupnya akan masuk surga, dan orang yang banyak dosanya akan masuk neraka. Mareka juga mengerti bahwa Al-qur’an berisi
Firman Allah SWT, mereka juga telah membaca Syahadat dan bila hari raya Fitrah juga membayar Zakat Fitrah.
Dalam upacara perkawinan dan penguburan Jenazah mereka juga mengikuti cara-cara Islam dengan bantuan Para Naib ( Penghulu) dan Modin (Pembantu Penghulu) . Mareka juga ikut merayakan hari-hari besar Islam walaupun dengan cara Kenduri atau slamatan.
Selain itu mereka juga masih tetap pula percaya pada makhluk Ghoib, percaya pada kekuatan-kekuatan magis dan Sakti, banyak menjalankan berbagai macam ritus dan upacara yang tidak berlkaitan dengan ajaran Islam.

B. Sebab-sebab terjadinya Islam Abangan
Sangat sulit memang untuk mengkaji terntang sebab-sebab terjadinya Islam Abangan, sebab masalah tersebut sangat komplek dan memerlukan telaah yang sangat mendalam. Namun demikian dalam pembahasan ini kami akan berusaha untuk mengkaji sebatas dengan kemampuan yang kami miliki berdasarkan literatur yang sangat terbatas.
Sebenarnya Islam Abangan itu Cuma istilah untuk membedakan antara Muslim yang taat menjalankan Syariat Islam dan yang tidak taat. Dan istilah tersebut muncul untuk memberikan gambaran yang nyata tentang kondisi keagamaan masyarakat Indonesia terutama di Jawa, di mana sebelum menganut agama Islam mereka sudah menganut kepercayaan dari nenek moyang mereka seperti Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha.
Untuk menelusuri sebab-sebab terjadinya Islam Abangan kita harus menengok sejarah masuknya Islam di Indonesia dan penyebarannya. Sebagaimana kita ketahui dalam sejarah, bahwa proses Islam secara konstan di Indonesia dimulai sejak abad ke tujuh. Proses penyebarannya itu dilakukan oleh “ para pedagang, da’I dan orang-orang suci (sufi) yang berasal dari Jazirah Arab, Persia dan India” 11).
Pada awal proses penyebaran Islam, terutama di Pulau Jawa, masih terbatas di sepanjang daerah pantai. Hingga abad ke lima belas, kota-kota pantai. Baik di Jawa, di Sumatra maupun di daerah lainnya merupakan wilayah pertama yang menerima Islam. Dengan mendirikan pusat-pusat kegiatan komersial para pedagang Muslim mulai mendapatkan perhatian dari masyarakat setempat. Begitu pula dengan mengawini wanita-wanita setempat dan menduduki posisi social ekonomi yang strategis “ mereka telah melapangkan jalan untuk suatu proses Islamisasi masyarakat setempat secara lebih sistematis” 12).
Segera setelah itu perkembangan Islam yang begitu menentukan disepanjang daerah pesisir utara P. Jawa menjadi penting. Fenomena ini secara politis, berarti membendung pengaruh Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa Timur. Kedudukan Islam menjadi semakin dominant, terutama setelah penguasa kerajaan Mataram yang menguasai Jawa Tengah pada abad ke tujuh belas memeluk Agama Islam. Islamisasi berkembang baik hingga mencapai daerah luar Jawa dan Sumatera.
Peranan para Sufi dalam penyebaranIslam di Indonesia sangat menentukan. Mereka merupakan tenaga da’i yang mempunyai toleransi dan apresiasi cukup mendalam terhadap nilai-nilai Sufistik yang di perkenalkan oleh orang-orang India dan Persia kepada Masyarakat Indonesia. Bahkan “ajaran Mistisisme yang di perkenankan itu jauh sebelum Islam datang di Indonesia, hingga taraf-taraf tertentu telah berkembang pada persoalan – persoalan transcendental ,terutama yang menyangkut pembicaraan menegenai Tuhan, Manusia, Alam dan sebagainya” 13)
Sementara di Jawa Para Sufi yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo, dalam perkembangan Islam di Jawa memainkan peranan yang amat dominant.Mereka diterima masyarakat luas karena pandai mennggunakan daya lentur Ajaran Islam untuk meneguhkan tradisi – tradisi setempat. Terutama ajaran mistisisme lama yang berasal dari ajaran Hindu yang memang mempunyai banyak persamaan dengan ajaran misitisime Islam. Gagasan mistik memang mendapatkan sambutan hangat di Jawa” karena sejak Jaman sebelum masuknya Islam, tradisi – tradisi kebudayaan Jawa Hindu sudah di dominasi oleh unsur – unsur mistik “ 14).
Menurut Dr. Soewito Santoso “ 15), dalam bukunya Babad Tanah Jawa disebutkan bahwa penyebaran Islam di Indonesia segera diikuti oleh proses Islamisasi Kepustakaan Melayu atau pun Jawa. Yang cukup unik adalah bahwa proses Islamisasi
kebudayaan dan Kepustakaan Jawa ini tidak hanya dilakukan oleh Para Santri saja, tetapi justru dilakukan oleh Para Raja dan Para Pembantunya sebagai pecinta dan pengembang kebudayaan Jawa. Hal ini tampak pada Jaman Mataram, rupanya Para Raja dan Sastrawan kerajaan Mataram amat berkepentingan bagi pengintegrasian antara lingkungan kebudayaan pesantren dengan lingkungan kebudayaan Jawa. Hal ini penting untuk kestabilan kerajaan dan social budaya. Sultan Agung ( 1613 – 1445 ) sebagai Raja terbesar Kerajaan Mataram nampak memelopori proses Islamisasi ini.
Disamping beliau banyak menarik peranan Ulama dalam pemerintahan. Kerajaan Sultan Agung juga berhasil mengubah perhitungan Tahun Saka berdasarkan perjalanan Matahari, menjadi tahun Jawa (AJ) berdasarkan perjalanan Bulan yang disesuaikan dengan perhitungan Tahun Hijriah. Perhitungan Tahun Jawa ciptaan Sultan Agung ini segera di terima dengan baik oleh masyarakat Jawa (Kejawen) maupun oleh masyarakat Pesantren. Tindakan semacam ini juga dilakukan oleh para Sastrawan dan para Pujangga Istana terhadap kepustakaan Jawa.
Kepustakaan Jawa yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam yang sudah tumbuh sejak zaman kerajaan Jawa – Islam Demak oleh Simuh “ 16), disebut sebagai kepustakaan Islam Kejawen. Di mana cirri dari karya satra Jawa yang sudah disusun pada zaman kebangkitan rohani masa Surakarta sifatnya makin mistis dan Istana sentries. Dalam hal agama Islam, unsure – unsure tasawuf yang amat disenangi dan
digubah serta dipertemukan dengan tradisi-tradisi kejawen. Disamping berbentuk cerita- cerita seperti Serat Ambiya, Tapel Adam, serat Kandha, Para Moyogo serta menak dan lainnya.
Disamping itu juga timbul tiga jenis Kepustakaan Islam Kejawen yaitu ; “ Suluk, wirid, dan Primbon “ 17 ). Suluk dan Wirid jelas berarti ajaran mistik, jarena keduanya berkaitan dengan ajaran Tasawuf. Wirid menurut tradisi Kejawen adalah ajaran mistik yang umumnya disusun dalam bentuk Prosa (Jarwa), sedangkan Serat Suluk berbentuk Sekar ( Puisi ), misalnya Proses Islamisasi Serat Bima Suci, suatu serat yang merupakan inti pandangan atau falsafah mistik Kejawen. Dalam hal ini Dr. Soewito Santoso, megatakan sebagai berikut :
“We see Javanese muslim interpreting the bima suci in the Islamic manner or in other words makingthe Bima Suciacceptable to muslim. Yet it can be seen in another light. Namely that he tries to make Islam accepted by people who stiel believe in the case on hand as an attempt to Islamic the Bima Suci, and on the other hand to lacalize islam”18)

Jadi proses Islamisasi kebudayaan dan kepustakaan Jawa mempunyai aspek ganda, yakni memperkenalkan dan meresapkan unsure-unsur ajaran Islam kepada masyarakat dan para pecinta kepustakaan Jawa. Disamping itu proses ini menyebabkan kepustakaan Jawa dapat diterima oleh masyarakat santri.
Para santri banyak yang memegangi kitab-kitab Babad yang menyuguhkan cerita-cerita mitos tentang para Wali dan kesaktian para raja – raja jawa. Jadi pengislaman
kebudayaan dan kepustakaan jawa menjadi sarana integrasi social budaya bagi masyarakat Pesantren dan masyarakat Kejawen.
Ajaran – ajaran mistik jawa atau kebatinan pada mulanya berkembang dan tersimpan dalam berbagai macam Serat Wirid dan Serat Suluk, seperti Wirid Hidayat Jati, Maklumat Jati, Centini, Wedhatama, Wulangreh, Suluk Sukma Lelana, Malang Sumirang, Suluk Wujil, Sastra Gendhing, Jati Swara, Kunci Swargo dan lainnya. Yang kesemuanya merupakan kitab-kitab yang mempertemukan tradisi Jawa dengan unsur-unsur Islam.
Karena itulah Islam di jawa berbeda dengan Islam yang ada ditemmpat lainnya. Sebab Islam di Jawa banyak bercampur dengan nilai-nilai setempat. Meneurut penelitian para Sarjana dari barat dikatakan bahwa “Penyebaran Islam di Kepulauan Jawa telah terjadi proses Sinkretisasi cukup tajam antara Islam dengan ajaran –ajaran hindu, budha, animisem dan dinamisme” 19).
Hal inilah yang mengakibatkan orang-orang Islam di Jawa dalam melaksanakan acara-acara keagamaan seperti, Perkawinan, Kematian dan lainnya banyka terpengaruh oleh tradisi-tradisi masyarakat jawa sebelum Islam. Sehingga yang menonjol dalam acara keagamaa tersebut bukan nilai-nilai agama akan tetapi lebih menonjolkan pada nilai-nilai tradisi leluhur mereka. Demikian juga dalam melaksanakan syari’at Islam, banyak diantara mereka yang tidak perduli dengan rukun Islam seperti Sholat misalnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Simuh” 20), bahwa banyak diantara mereka yang belum menjalankan Sholat lima waktu, walaupun sebagian dari mereka telah melaksanakan Puasa Romadhon dan percaya pada Allah serta Rasulullah Muhammad SAW.
Kelompok-kelompok atau golongan Islam seperti inilah yang oleh Koenjaraningrat , Dimasukkan dalam golongan Islam Abangan. Karena mereka kurang taat dalam mengerjakan syariat Islam dan lebih mengedepankan nilai-nilai tradisi leluhur mereka.
Dan karena itu pula Koenjaraningrat, membagi Islam di Jawa menjadi dua golongan yakni Golongan Islam Jawa ( Kejawen ) atau lebih dikenal dengan sebutan Abangan yang sinkretis yang menyatukan unsur-unsur Pra hindu, hindu dan Islam. Dan yang ke-dua Golongan Islam yang Puritan ( Santri ) yang taat mengiokuti syariat islam.

C. Eksistensi Golongan Islam Abangan saat ini

Keberhasilan Islam menembus dan mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia serta menjadikan dirinya sebagai agama utama bangsa ini merupakan suatu prestasi yang luar biasa. Hal itu terutama jika dilihat dari segi geografis, diaman jarak Indonesia dengan Negara asal , Jazirah Arab yang cukup jauh. “Apalagi jika diingat bahwa sejak dimulainya proses penyebarannya Islam di Kepulauan Nusantara ini, belum terdapat suatu organisasi dakwah yang dapat dikatakan sebagai untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat luas”21).
Proses tersebarnya Islam pada waktu itu sebagai gantinya, semata-mata ,mengandalkan kemampuan dan ketekunan tenaga da’i-pedagang atau guru sufi. Karena itu, dapat dipahami jika proses penyebaran Islam di Indonesia membutuhkan waktu yang berabad-abad.
Kini Islam relatif telah berkembang diseluruh kepulauan Nusantara.” Tetapi hal itu tidak berarti bahwa masyarakat Indonesia telah sepenuhnya menerima Islam, karenanya hingga kini kegiatan Islamisasi masih terus berlanjut”22). Terutama yang berkaitan dengan pemurnian ajaran Islam dari pengaruh ajaran-ajaran hindu, budha, Animisme maupun Dinamisme yang hingga sampai saat masih berkembang cukup subur dikalangan masyarakat luas terutama di P. Jawa, yang menamakan dirinya sebagai golongan Islam kejawen atau Islam Abangan.
Karena kita tahu bahwa daya lentur ajaran Islam yang dimanfaatkan oleh para Wali ( wali songo) dan para penyebar Islam lainnya dalam menyebarkan ajarann Islam di P. Jawa khusunya dan di wilayah Indonesia umumnya telah memperkuat tradisi-tradisi Pra Islam yang bercampur dengan ajaran Islam. Jadi Islam dibanyak tempat di P. Jawa khusunya dan di Indonesia pada umumnya adalah Islam Sinkrestis yakni hasil perpaduan dari ajaran-ajaran pra Islam dengan Islam.
Sebagaimana diakui oleh Harry J. Benda,”23).Clifford ,”24).WF.Weertheim,”25). Rober Jay,26), yang beranggapan bahwa Islam di banyak tempat di Indonesia merupakan Islam sinkretik. Bahkan Benda secara tegas membedakan , sekaligus mempertentangkan antara Islam di Jawa dan Islam di Sumatera Barat, di mana yang pertama telah banyak yang bercampur dengan nilai-nilai setempat, sementara yang ke-dua, karena pada akhirnya banyak terpengaruh oleh gagasan-gagasan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammad Abduh ibn Abd al- Wahab di Jazirah Arab pada tahun 1973, maka dianggap masih lebih murni.
Argumentasi yang dikembangkan oleh para sarjana Barat itu, untuk mendukung tesis mereka tentang Sinkretisme Islam di Indonesia, adalah kenyataan bahwa secara geografis Indonesia terletak sangat jauh dari daerah asal Islam, Karena itu sulit, dibayangkan bahwa dari jarak begitu jauh, kemurnian islam masih dapat dipertahankan hingga di Indonesia. Dengan kata lain, terdapat kemnngkinan bahwa, dalamm perjalanan menuju daerah Timur ( Malaysia, Indonesia dan lain sebagianya), Islam telah bercampur atau dipengaruhi oleh nilai-nilai setempat. Selain itu adanya kenyataan histories bahwa Islam hadir di Indonesia tidak dibawah langsung oleh Pemeluk Islam dari Jazirah Arab,
melainkan oleh pedagang Persia dan India. Hal ini semakin menunjukkan indikasi adanya
sinkretisme Islam sejak ia pertama kali hadir di Indonesia.
Sementara itu sejak abad ke-sembilan belas, Islam telah tersebar menjadi agama yang dianut oleh mayoritas bangsa Indonesia, mulai dari daerah perkotaan sampai dengan pedesaan. Sejak itulah muncul asumsi yang sangat kuat bahwa agama Islam telah berhasil menguasai dasar-dasar ajaran Hindu – Bundha yang bersifat mistik atau spiritual animistic.
Namun demikian islam yang berkembang di Indonesia tetap dianggap berbeda dengan Islam di negeri asalnya, Jazirah Arab. “Karena Islam di Indonesia masih mengandung konsep-konsep mistik dan yang telah benar-benar mengakar pada kehidupan masyarakat”27).
Dengan didukung oleh realitas kesejarahan watak penyebaran Islam di Indonesia, beberapa sarjana Barat yang melalkukan survey ilmiah, baik secara antropolgis maupun sosiologis-etnografis, dibeberapa daerah di Indonesia, khusunya di Jawa, menemukan dua hal yang secara umum dapat menggambarkan masyarakat Islam. Yaitu mereka yang disebut kelompok” Santri dan kelompok Abangan”28). Kelompok Santri adalah mereka yang dengan taat menjalankan ajaran Islam. Sedangkan Kelompok Abangan adalah mereka yang lebih terpengaruh oleh nilai-nilai kebudayaan Jawa Pra Islam dari pada nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri.
Dan kondisi seperti itulah yang terjadi pada masyarakat Islam di Indonesia hingga kini. Bahkan sebagian besar mereka yang tinggal dipedesaan mayoritas pengamalan keagamaannya sangat kental sekali dengan tradisi-tradisi Kejawen atau yang sering disebut sebagai kelompok Islam Abangan. Begitu kuatnya pengaruh ajaran Animisme, Dinamisme, Hindu dan Budha, sehingga dalam setiap upacara keagamaan seperti ; menghitankan Anaknya, Menikahkan dan lain sebagianya, mereka campurkan antara tradisi Islam dengan ajaran dari leluhur-leluhur mereka.





B A B IV
WALIMATUL URS PADA MASYARAKAT ISLAM ABANGAN

A. Ciri-Ciri Kegiatan Keagamaan Golongan Islam Abangan
Ciri – Ciri Islam abangan dalam kepercayaan dan amal dapat dilihat dalam upacara-upacara yang dilakukan, yang meliputi, upacara melakukan perjalanan penyembahan roh halus, upacara cocok tanam, dan tata cara pengobatan. dimana “ Semua upacara tersebut bertumpu pada kepercayaan roh baik dan roh jahat” 29).
Upacara pokok dalam tradisi Islam Abangan ialah Slametan yakni, mengadakan kenduri. Ini merupakan acara agama yang paling umum dikalangan abangan, yang melambangkan persatuan mistik dan social dari orang – orang yang ikut serta dalam slametan itu.
Slametan diadakan hampir dalam setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang jawa, seperti” Kehamilan, Kelahiran, Khitanan, Perkawinan, Kematian, Hari raya Islam resmi ( seperti lebaran dan Maulid Nabi SAW), dan upacara Panen ” 30).
Tujuan utama slametan adalah mencari keadaan slamet ( selamat ), dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah atau gangguan gaib. Slametan bukan meminta kekayaan, tetapi upacara untuk menjaga agar tidak terjadi sesuatu yang dapat
membingungkan atau menyedihkan, yang memiskinkan atau mendatangkan penyakit, juga agar orang tersebut terhindar dari perasaan hendak menyerang orang lain, atau dari gangguan emosional.
Selain selametan yang sifatnya pribadi, juga diadakan slametan untuk desa secara keseluruhan yang terkenal dengan nama sedekah bumi. Kadang – kadang seekor kerbau disembelih, kemudian kepala dan tulangnya dipendam pada tempat itu juga.
Bagi Abangan, kebiasaan upacara penghormatan kepada arwah leluhur ( atau yang disebut cikal bakal, yakni pendiri desa), sama pentingnya dengan penghormatan pada kuburan-kuburan suci yang disebut kramat. (keramat). “Di Jawa banyak terdapat kuburan yang dianggap keramat, diantaranya makam Para Wali”31). Ribuan orang berziarah ke kuburan tersebut untuk mendapatkan berkah.
Satu benda lagi yang oleh orang abangan sangat dihormati yaitu keris. Dalam kisah-kisah jawa. Keris dipandang sebagai senjata yang keramat, mempunyai keampuhan, dan menduduki tempat terkemuka diantara tanda-tanda kebesaran raja, maupun diantara pusaka yang turun temurun. Menurut kepercayaan abangan, keris memiliki kesaktian yang dapat berpindah kepada seseorang yang memegangnya, disamping adanya keris yang bertuahdan membawa keberuntungan.
Golongan abangan sangat percaya sekali pada kemampuan dukun, Sehingga dukun dalam struktur masyarakat Abangan menduduki peran yang sangat penting dan terhormat. Dan setiap pelaksanaan slametan maka sang dukunlah yang memimpin dan
berperan aktif dalam pelaksanaan upacara slametan tersebut.

B. Persepsi Islam Abangan terhadap pelaksanaan Walimatul Urs

Dalam kamus orang-orang abangan sebenarnya tidak ada istilah Walimatu Urs, yang ada adalah acara upacara Slametan Manten. Karena istilah Walimatul Urs itu sendiri berasal dari bahasa Arab, dari kata “ Walimah yang artinya berkumpul dan al- Urs artinya perkawinan” 32).
Dalam tradisi orang-orang abangan walimatul Urs atau dalam istilah mereka sering disebut sebagai slametan manten, diadakan ketika mereka ngunduh manten ( punya hajat menikahkan putra – putrinya ).
Slametan manten ini memiliki makna yang sangat dalam baik bagi calon manten berdua maupun bagi orang tua mereka. Karena itu merupakan peristiwa yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup calon manten, maka dalam mengadakan slametan tidak boleh melanggar norma – norma atau tradisi yang telah dianut oleh para leluhur mereka secara turun temurun. Terutama yang berkaitan dengan penentuan hari diadakannya slametan, yang harus menghindari hari Naas bagi bereka, seperti hari Geblake Mbae ( hari meninggalnya orang tua atau leluhur mereka). Ini harus betul-betul dihindari, karena kalau pantangan ini dilanggar menurut keyakinan orang abangan, maka pada salah satu pihak dari manten atau orang tua mereka akan menemui atau mengalami musibah.
Tujuan diadakannya slametan manten, agar mereka yakni calon manten berdua dan seisi rumah memperoleh suatu keselamatan, terhindar dari bala’ dan musibah serta gangguan ghaib. Karena itulah slametan manten hukumnya wajib bagi mereka untuk dilaksanakan, dan tidak boleh ditunda – tunda sebab menyangkut keselamatan diri mereka dan keluarga, walaupun hanya berupa bubur satu piring atau satu mangkok.

C. Islam Abangan dalam persiapan pelaksanaan dan Tata Cara Walimatul Urs.
Begitu penting nya upacara slametan bagi golongan orang-orang abangan, maka harus dicari waktu yang tepat untuk melaksanakan slametan tersebut. Slametan biasanya diadakan pada malam hari, setelah terbenamnya matahari.
Pelaksanaannya biasanya mengundang para kerabat dan tetangganya kerumah. Sesudah para tamu berkumpul, maka tuan rumah memberikan sambutan dengan memakai bahasa Jawa kromo yang menyampaikan maksud diadakannya slametan.
Seterusnya salah seorang tamu ( seorang santri yang tinggal di dekat situ ), membacakan beberapa ayat Al-qur’an ( biasanya surat Yasin) dan kemudian dibacakan do’a secara berjamaah. Seusai do’a makanan pun dihidangkan. Kemudian dupa dan kemenyan dibakar selama slametan. Seusai slametan para tamu pulang dangan membawa berkat”33).
Menurut Koenjaraningrat “34), walaupun golongan Islam Abangan banyak yang
belum melaksanakan sholat lima waktu dan sholat Jum’at, namun sebagian besar dari mereka sudah menjalankan Puasa Romadhon. Mereka juga yakin akan adanya Allah juga percaya pada Rasulullah, mereka menyadari bahwa orang yang baik akan masuk surga dan orang yang banyak melakukan perbuatan dosa akan masuk neraka. Mereka juga mengerti bahwa Al-qur’an adalah firman Allah. Disamping itu mereka juga pernah membaca Syahadat paling tidak ketika dia menikah. Juga membaca Al-fatihah setidak-tidaknya pada waktu dikhitan.
Dalam upacara perkawinan, mereka juga mengikuti cara-cara Islam yakni dengan bantuan para Na’ib ( Penghulu) dan Modin ( Pembantu Penghulu ). Begitu juga dalam hal slametan manten, mereka juga mohon bantuan kepada Kyai dan para santri terdekat untuk membacakan surat – surat Al-qur’an, terutama yang sering dibaca dalam slametan yang umum adalah Surat Yasin. Dan Kyai tersebut sekaligus diserahi untuk memipin do’a secara Islami.
Disamping mohon bantuan pada Kyai, orang – orang abangan juga tidak lupa mohon bantuan dan bimbingan serta do’a pada Dukun, yakni orang yang dipandang memiliki beberapa kelebihan dan memiliki kemampuan untuk melihat barang hal-hal yang ghaib.
Cara mengadakan Walimatu Urs atau dalam bahasa mereka sering disebut sebagai Slametan Manten adalah dengan Kenduri, yang mengundang tetangga dekat, sanak kerabat dan handai tolan untuk makan bersama dan memohon do’a restu dari para hadirin sekalian yang hadir agar, kedua manten dan keluarga baik dari manten laki-laki
maupun perempuan mendapatkan keselamatan dari Tuhan Yang Maha Kuasa dan bebas dari ganngguan roh–roh jahat serta bebas dari gangguan barang lelembut termasuk setan, jin dan peri prayangan.
Sehingga dalam setiap acara slametan manten, ada hal yang pokok yang tidak boleh ketinggalan yaitu “ Pembakaran Dupa dan Kemenyan” 35). Yang bertujuan untuk mengusir roh-roh Jahat selama slametan berlangsung. Disamping itu menurut orang-orang Abangan bahwa, Kepulan Asap yang keluar dari pembakaran Dupa dan Kemenyan diyakini dapat menambah kekhusukan ritual keagamaan mereka, agar Slametan yang mereka lakukan lebih khidmat.
Pembakaran Dupa dan Kemenyan tidak boleh dilakukan oleh sembarang orang, karena itu mereka yang dipercaya untuk membakar Dupa dan Kemenyan adalah orang-orang yang dipandang memiliki kelebihan yang mengerti tentang hal – hal yang ghoib yakni Para Dukun. Karena Dukun menurut keyakinan mereka dapat “ mengendalikan roh-roh yang menjadikannya alat bagi keinginan dan hasrat mereka” 36).
Namun dalam perkembangannya saat ini dimana Dukun sudah jarang, maka yang dipercaya untuk membakar Dupa dan Kemenyan adalah Kyai atau Modin. Karena menurut keyakinan mereka bahwa Kyai atau Modin yang ada di desa termasuk orang-orang Suci. Yang mereka yakini dapat menyampaikan hajat ( kepentingan ) untuk mendapatkan keselamatan pada arwah leluhur mereka.

Untuk melengkapi upacara dalam Slametan Manten, biasanya ada hal-hal yang perlu dipersiapkan antara lain :
a. Bunga Telon, yakni bunga tiga rupa yang dimasukkan kedalam mangkok atau ke dalam Takir ( terbuat dari daun pisang berbentuk persegi empat) seperti kotak kapur, yang didalamnya sudah diisi air. Bunga telon ini berfungsi agar do’a yang mereka panjatkan dapat sampai kepada Tuhan Yang Kuasa.
b. Sandingan, yang terdiri :
1. Beras 1 Kg.
2. Pisang Raja 2 Cengkeh
3. Bubuk dan gula secukupnya
4. Sirih, Kapur, dan Jambe ( Adonan untuk nginag ) Arwah Leluhur mereka
5. Bubur Rasul, sebanyak 4 (empat) kotak yang ditaruh dalam Takir.
Sandingan ini memiliki fungsi sebagai tolak bala’, yakni agar arwah nenek moyang kita dan roh-roh halus yang jahat, tidak dapat mengganggu upacara selama slametan manten berlangsung.
c.Ponar ; yakni nasi putih yang berbentuk seperti kerucut, diatasnya di kasih sebutir telur disekelilingnya atau dibawahnya ditaburi kunir yang sudah dihaluskan. Ponar tersebut biasanya ditaruh ditengah-tengah sesajen lainnya diikutkan dalam sandingan. Setelah dikasih mantra-mantra atau do’a oleh seorang Dukun atau Kyai ataupun Modin, maka Ponar tersebut wajib dimakan oleh manten berdua, sehabis akad Nikah yang dilaksanakan oleh Penghulu dari KUA.
Tujuannya agar manten berdua itu dapat hidup rukun sampai kaken-kaken dan ninen-ninen ( Kakek- Nenek).
Semua persyaratan tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah tertentu seperti Ember besar atau tampah yang terbuat dari anyaman bambu. Selanjutnya tampah atau ember yang berisi sesajen tersebut ditaruh di depan Mbah Dukun kalau tidak ada Mbah Dukun biasanya dilakukan oleh Kyai atau sering juga dilakukan oleh Modin Desa, untuk dibacakan mantra-mantra atau do’a tertentu. Sebelum membaca do’a diwajibkan untuk membakar Dupa dan Kemenyan, agar hajat atau keinginannya dapat terkabul dan mantra atau doa yang bacakan lebih khusu’ dan selama selamatan tidak diganggu oleh roh-roh jahat.


BAB IV
P EN U T U P


A. Kesimpulan
Dari beberapa uraian yang telah kami jabarkan tersebut diatas dapat ditarik satu kesimpulan bahwa :
1. Istilah Walimatul Urs oleh orang-orang islam Abangan tidak dikenal, mereka lebih mengenal dengan Istilah Slametan Maten.
2. Karena itu pelaksanaan Walimatul Urs yang dilakukan oleh orang-orang Islam Abangan tidak bisa digolongkan sebagai perbuatan Walimatul Urs, sebab masih jauh dari ketentuan ajaran Islam yang sebenarnya.
3. Sedangkan Para Kyai atau Modin yang biasanya dirangkap oleh Pembantu Penghulu Desa. Dalam pandangan mereka adalah termasuk orang-orang suci, tidak seharusnya Para Kyai atau modin tersebut meneruskan tradisi yang bertentangan dengan ajaran Islam.
B. Saran - Saran
1. Orang – orang Islam Abangan, karena mereka adalah orang-orang yang tidak paham atau kurang mengerti tentang ajaran Islam yang sebenarnya. Maka kewajiban kita bersama untuk memberikan pemahaman dan pengertian tentang ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Tugas Para Kyai atau Modin yang kebanyakan merangkap sebagai Pembantu

Penghulu di Desa tidak boleh merangkap sebagai dukun bagi orang-orang Islam Abangan.
3. Artinya bahwa mereka bertugas untuk mencerdaskan masyarakat, bukan bertugas untuk menyiapkan sesajen dan membakar Dupa serta Kemenyan dalam selamatan manten, yang terkadang dia sendiri tidak tahu atau kurang mengerti terhadap makna dari perbuatannya tersebut.

B. P e n u t u p

Demikianlah uraian singkat kami tentang “Pelaksanaan Walimatul Urs Pada Masyrakat Islam Abangan”.
Mudah – mudahan tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Khususnya bagi diri saya sendiri dan para pembaca sekalian pada umunya, agar dapat dijadikan telaah didalam menjalankan syariat Islam yang sebenarnya.
Harapan Kami agar apa yang ada di dalam tulisan ini , dapat disampaikan kepada pihak-pihak lain yang memang sangat membutuhkan infortmasi tentang Pelaksanaan Walimatul urs Pada Masyarakat Islam Abangan.
Bukan untuk ditiru atau diamalkan akan tetapi untuk mendapatkan perhatian dan pembinaan agar apa yang mereka laksanakan selama ini sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Seabagaimana manusia biasa, kami banyak memiliki kelemahan dan kekurangan. Sebab tak ada gading yang tak retak. Masukan, kritikan ,saran dan pendapat yang bersifat

membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Atas segala perhatian serta saran dan pendapatnya kami sampaikan banyak terima kasih.



DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Abduh, Muhammad, “ Risalah Tauhid”, Terj. KH. Firdaus.A.N. Bulan Bintang, Jakarta
Cet. VII , Tahun 1979.

2. Al-Bukhari, Abu Abdullah Muhammad bin Ismail “Shohih al-Bukhari. Beirut Dar al-Fikr,1981,

3. Ali, Fachri. Bahtiar Efendi, “ Merambah Jalan Baru Islam”, Mizan, Bandung, Cet. Per
tama, Tahun 1986

4. Ashshiddik, Hasbi.T.M. Prof.Dr.dkk. “Al-qur’an dan Terjemahannya”, Yayasan Penterjemah/Penafsir Al-qur’an, Jakarta, 1971.

5. Anwar, Rosihan, “ Islam and Politics in Indonesia “ Dalam Rober O. Tilman ( Ed) Man State and Socciety In Contem Porary Sout he ast Asia, New York. Me ager Publisher, 1969

6. A. Hasan, “Tarjamah Bulughul Maram”, CV. Diponegoro, Bandung, Cet.XXIII, Tahun 1999.

7.. Budiman,Nashir.A, Ed. “Inti Ajaran Islam, Al-qur’an Paradigma Perilaku Duniawi dan Ukrowi”, Thomas Ballatine Irving dkk. CV.Rajawali,Jakarta, 1987.

8. Clifford Geertz, “ Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, Pustaka Jaya, Jakarta, Tahun 1981

9. Ensiklopedi Islam Jilid 1 , PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Jakarta. 1994

10. Ensiklopedi Islam Jilid 5 , PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1999.

11. Harry . J. Benda, “ Bulan Sabit dan Matahari Terbit”, Pustaka Jaya, Jakarta, Tahun 1980

12. Kamisa, Drs. “ Kamus Lengkap Bahasa Indonesia”, Kartika, Surabaya, Cet. I, Tahun 1997

13. Koenjaraningrat, “Kebudayaan Jawa”, Balai Pustaka, Jakarta, 1985.

14. Madjid, Nurcholis Dr. , “ Islam Kemoderenan Dan Ke-Indonesiaan”, Mizan, Jakarta, Cet. Pertama Tahun 1987.

15. Rasyid ,Sulaiman. “Fiqih Islam”, Sinar Baru, Bandung, 1992.

16. Rober Jay, “ Santri and Abangan”, Religious Schism in Rural Central Java, Harvard University, 1977

17. Sabbiq, Sayyid, “Fikih Sunnah”, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1981.

18. Salam, Sholihin, “ Sekitar Wali Songo”, Menara, Kudus, Cet. Ke-tiga Tahun 1972.

19. Simuh, “ Gerakan Kaum Sufi”, Prisma 11, Tahun XIV, LP3ES Jakarta, 1985

20. Soewito Santoso, Dr. “ Babad Tanah Jawa’, Pustaka Jaya, Jakarta, Tahun 1989

21. Terjemahan Hadits Shoheh Bukhari, Jilid I – IV, Penterjemah H. Zainuddin Hamidy, dkk. Wijaya Jakarta, Cet. XIII, Tahun 1992.

22. Qordhawi, Yusuf, Dr. “Halal Haram Dalam Islam”, Era Intermedia Suirakarta,
2000.

23. Wertheim, W.F., Indonesia Society in Transition”, Sumur, Bandung, 1956.